Selasa, 26 September 2017

    Kasepuhan Ciptagelar: Ketika Teknologi Bersinergi dengan Kearifan Lokal







Oleh : Muhammad Irfan

Imah Gede

Leuit
Kasepuhan Ciptagelar merupakan sebuah desa adat yang terletak di Kecamatan Cisolok, Kabupatan Sukabumi, namun wilayah kekuasaannya membentang hingga wilayah Kabupaten Lebak di Banten dan Kabupaten Bogor di Jawa Barat. Termasuk kedalam kesatuan adat Banten Kidul. Merupakan sebuah kampung tradisional yang mengakui kepemimpinan adat setempat diperoleh melalui kekuatan wangsit dan bebendon (pamali/ larangan-larangan) yang berasal dari nenek moyang. Masyarakat adat di kesepuhan ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu dan diyakini sebagai keturunan Kerajaan Sunda Hindu terakhir di Jawa Barat yang berpusat di Pakuan Pajajaran, Bogor. Memiliki luas wilayah kurang lebih 120.000 ha yang terdiri dari 568 desa dan penduduknya mencapai lebih dari 30.000 jiwa.
Kasepuhan Ciptagelar dipercaya pertama kali didirikan pada tahun 1368. Selama 649 tahun berdirinya, kasepuhan ini sudah mengalami 23 kali perpindahan tempat dan 11 kali pergantian kepala adat (abah). Perpindahan ini terjadi apabila seorang kepala adat mendapatkan sebuah “wangsit” untuk melakukan perpindahan. Pada tahun 1968, kasepuhan ini masih terletak di daerah Sirnaresmi, kemudian pada tahun 1982 berpindah ke daerah Sirnarasa. Pada tahun 1994, kasepuhan ini berpindah ke daerah Ciptarasa. Baru pada tahun 2001, kasepuhan Ciptagelar menempati tempatnya yang ada hingga saat ini. Semenjak kasepuhan masih berada di Sirnaresmi hingga tahun 2007, Kasepuhan Ciptagelar dipimpin oleh Abah Encup. Ketika Abah Encup meninggal dunia pada tahun 2007, posisinya digantikan oleh putranya, Abah Ugi.




Masuknya Tekonologi dan Modernisasi


Sekretariat CIGA TV dan RSC FM


Kang Yoyo Yogasmana selaku Ketua Redaksi CIGA TV dan Humas Kasepuhan Ciptagelar 


Di masa kepemimpinan Abah Ugi ini, Kasepuhan Ciptagelar mulai terbuka terhadap teknologi dan dunia luar. Abah Ugi sendiri sebelumnya pernah berkuliah di Bandung, namun keburu dipanggil untuk menjabat mejadi kepala adat. Dimulai dari diintroduksikannya sebuah menara pemancar sinyal telekomunikasi, pembentukan radio dan TV Kasepuhan Ciptagelar (CIGA TV & Radio), hingga bekerjasama untuk membangun pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) sebagai sumber energi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Dan yang terbaru, di Kasepuhan Ciptagelar ini sudah tersedia fasilitas WiFi (walaupun hanya mencakup kompleks utama pemerintahan Kasepuhan, tepatnya di Kampung Ciptagelar).
Pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) sudah dicetuskan oleh Abah Encup pada tahun 1998, ketika Kasepuhan Ciptagelar masih bertempat di Ciptarasa. Kemudian ketika tahun 2001 kasepuhan berpindah ke Ciptagelar, pencancangan PLTMH sebagai sumber energi listrik utama semakin digencarkan. Mulai muncul kerjasama antara pemerintah adat desa dengan berbagai pihak untuk melakukan kerjasama dalam pembangunan PLTMH di kawasan Kasepuhan Ciptagelar. Abah Ugi Sugriana Rakasiwi sendiri berhasil memperoleh penghargaan energi prakarsa kategori perorangan pada tahun 2011 atas jasanya mengembangkan PLTMH di wilayah Kasepuhan Ciptagelar. Hingga saat ini, terdapat sekitar 5 PLTMH yang bisa menghasilkan daya listrik hingga 150 kwh. Dengan daya listrik sebesar itu, bahkan sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik harian seluruh wilayah Kasepuhan Ciptagelar, bahkan sampai terjadi overstock listrik.
Pada masa awal kepindahan kasepuhan dari Ciptarasa ke Ciptagelar, masalah telekomunikasi menjadi salah satu hal yang menjadi fokus. Atas dasar itu, diintroduksikanlah sebuah menara pemancar sinyal telekomunikasi di wilayah Kasepuhan Ciptagelar. Pada tahun 2004, atas inisiatif Abah dengan pertimbangan urgensi kebutuhan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar akan informasi, akhirnya dicetuskan terbentuknya RSC (Radio Swara Ciptagelar) 107.7 FM, yang kemudian pada tahun 2008 berkembang juga menjadi CIGA TV. CIGA TV sendiri merupakan akronim dari Ciptagelar TV. CIGA TV beroperasi selama 24 jam, frekuensinya juga cukup menjangkau jauh, hingga menjangkau Malingping (Banten) di arah barat dan Sumedang di arah timur. Konon katanya, peralatan-peralatan radio dan tv ini sebagian besar terdiri dari barang-barang elektronik bekas yang dirakit dan diperbaiki sendiri.



Kearifan Lokal yang Masih Bertahan
Berbelanja di pameran hasil karya masyarakat Kasepuhan Ciptagelar


Pemandangan Kasepuhan Ciptagelar dari atas bukit


Dibalik kemajuannya dalam bidang tekonologi, Kasepuhan Ciptagelar tetap menjalankan ritual-ritual peninggalan leluhur dan menjunjung tinggi kerifan lokalnya. Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar tiap tahunnya masih rutin mengadakan upacara adat Seren Taun setiap selesai panen. Selain itu juga masih banyak aturan-aturan adat lainnya yang mengatur segala aspek kehidupan warga masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dan hubungannya dengan alam sekitar, seperti adanya hutan larangan, aturan mengenai penanaman padi, dan lainnya. Juga terdapat kearifan lokal khas dari masyarakat Kasepuhan Ciptagelar yang telah diwariskan secara turun temurun dan masih dijalankan dan menjadi pedoman hidup hingga saat ini.
Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar sangat bergantung kepada hasil bumi, terutama padi. Oleh karena itu, padi bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar bukanlah sekedar komoditas pangan belaka, namun merupakan sumber kehidupan. Mereka juga memercayai bahwa padi merupakan wujud seorang dewi yaitu Nyi Pohaci Sanghyang Asri. Jika mereka merawat padi dengan baik dari ditabur hingga dipanen, maka Nyi Pohaci Sanghyang akan memberi kesuburan atas hasil panen yang melimpah. Begitu pentingnya padi dalam konsep hidup masyarakat adat Kasepuhan, mereka pantang membuang dan memperjualbelikan padi. Mereka hanya menanam padi titipan leluhur yang berjumlah sekitar 160 jenis varietas asli.  Secara turun-temurun mereka menanam padi menggunakan sistem lahan kering atau huma maupun lahan basah atau persawahan. Dalam menanam padi dan bercocok tanam, terdapat beberapa tahapan yang harus sudah menjadi pakem bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Untuk menghormati alam, penanaman padi dilakukan setahun sekali tanpa pupuk, obat kimia dan pestisida. Setelah panen, lahan akan diistirahatkan. Mereka percaya alam perlu keseimbangan, dengan diistirahatkan maka akan memulihkan lahan agar kembali subur. Dalam menentukan waktu menanam, masyarakat Kasepuhan Ciptagelar mengacu pada rasi bintang tertentu, jika rasi bintang tersebut sudah muncul, maka proses bercocok tanam dapat dimulai. Proses bercocok tanam padi ini termasuk bagian dari rangkaian kegiatan adat, diawali dengan proses turun nyambut (menggarap lahan yang akan ditanami), tebar (menyiapkan benih padi), ngaseuk (menanam), sapangjadian, prah-prahan, mapag pare beukah, mabay, mipit (menuai padi dengan ani-ani), nyimbur, ngunjal, nutu (menumbuk padi), nganyaran (mencicipi hasil panen pertama), ponggokan (memberikan ruang batas untuk tidak mengolah lahan) dan ditutup dengan Seren Taun yang diadakan setiap bulan Hapit, bulan ke sebelas dalam penanggalan lokal. Berkat kearifan lokal yang sudah dipertahankan selama ratusan tahun, masyarakat Kasepuhan Ciptagelar tidak pernah mengalami gagal panen, bahkan berlimpah dan menambah jumlah leuit tiap tahunnya.





Seren Taun, sebuah Tradisi Berusia 649 Tahun
Prosesi Upacara Ngadiukeun


Rombongan Rengkong



Seren taun merupakan sebuah ritual yang rutin diadakan setiap masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Ritual ini sudah ada sejak Kasepuhan Ciptagelar pertama kali berdiri pada tahun 1368, dan di tahun 2017 ini telah mencapai ritual yang ke 649 tahun. Seren sendiri berarti seserahan atau menyerahkan, taun berarti tahun. Seren Taun dimaknai warga sebagai upacara penyerahan sedekah (tatali) hasil panen padi selama setahun sebagai rasa syukur atas panen yang berlimpah serta memohon berkah pada Tuhan agar hasil panen tahun mendatang lebih meningkat.
Rangkaian acara seren taun biasanya berlangsung selama 5 hari, dan dimulai dengan berbagai macam hiburan rakyat. Menyambut seren taun, tujuh panggung disekitar Imah Gede menyajikan berbagai hiburan dari yang buhun / lama mulai dari seni jipeng / tanji dan topeng, ujungan, pantun buhun, dogdog lojor / alat musik pukul semacam gendang panjang dan angklung, gondang, seni topeng, hingga kesenian yang umum kita lihat seperti pencak silat, debus, pertunjukan wayang golek dan berbagai tarian. Uniknya, tiap panggung dilengkapi sistem pengeras suara yang hampir sama kuat, seolah berlomba merebut perhatian pengunjung. Di lapangan besar dekat pintu masuk kasepuhan, tersedia sebuah panggung besar yang menampilkan musik dangdut selama semalam suntuk. Sepanjang jalan kasepuhan juga dipenuhi dengan kios-kios dan pasar dadakan yang menjual berbagai macam hal, dari mulai baju, peralatan rumah tangga, makanan, hingga kebutuhan pokok. Pasar dadakan ini hanya ada saat acara seren taun saja. Warga dari berbagai penjuru datang untuk menikmati hiburan yang ada, bukan hanya dari warga Ciptagelar saja, bahkan warga-warga di desa sekitar dan dari luar kota turut meramaikan pesta rakyat ini.
Dari rangkaian 5 hari acara tersebut, terdapat satu hari puncak seren taun. Letusan petasan berantai menandai awal prosesi puncak Seren Taun. Baris Kolot / tokoh masyarakat berada di urutan awal pawai mengelilingi Kasepuhan Ciptagelar melewati deretan leuit menuju ke alun-alun. Barisan yang mengenakan ikat kepala khas Banten, baju hitam polos, tanpa alas kaki itu diikuti oleh kelompok debus, kesenian bela diri Banten yang mendemontrasikan kekebalan tubuh terhadap senjata tajam. Dibelakangnya, para penari diiringi pemain dogdog lojor, rombongan rengkong / pemikul padi yang mengayun-ayunkan pocong padi pada bambu menimbulkan bunyi-bunyian ritmis, diikuti barisan pengumpul serpihan padi yang tercecer dalam tabung anyaman.
 Puncak acara dari ritual seren taun adalah ngadiuken pare, yaitu memasukkan sepocong pare indung / induk padi dalam Leuit Si Jimat, dilakukan secara simbolis oleh Pemimpin Kasepuhan Ciptagelar, Abah Ugi Sugriana Rakasiwi dan istrinya, Emak Alit, dengan diiringi oleh irama angklung, kendang, dan tumbukan alu yang saling bersahut-sahutan. Prosesi ini dimulai dengan pembacaan doa dan mantra melalui pantun seloka yang inti dari isinya adalah bersyukur atas restu alam semesta dan leluhur yang telah menjaga masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Selepas acara ngadiukeun pare, biasanya akan diadakan semacam musyawarah bersama antara warga Kasepuhan dengan para petinggi pemerintahan, baik dari Kabupaten Sukabumi, maupun Kabupaten Lebak. Seringkali juga hadir perwakilan dari komunitas masyarakat yang ada di seluruh nusantara





 Kearifan Lokal dan Konservasi Alam

        Wilayah Kasepuhan Ciptagelar termasuk kedalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), yang merupakan salah satu kawasan konservasi yang penting di Pulau Jawa bagian barat. Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar juga turut serta dalam menjaga hutan, bahkan jauh sebelum wilayah ini ditetapkan menjadi taman nasional. Hutan di wilayah Kasepuhan Ciptagelar dikelompokkan berdasarkan fungsi dan nilai sakral. Batasan memang tidak secara tegas disebutkan, namun umumnya masyarakat memahami karakter zona tertentu. Mereka yang melanggar batasan akan menerima sendiri akibat dari pelanggaran aturan adat tersebut. Dalam bahasa setempat, hutan (hutan adat) disebut leuweung kolot. Masyarakat adat Kasepuhan membagi leuweung kolot ke dalam tiga wilayah. Zonasi yang diterapkan menunjukkan intensitas pemanfaatan yang berbeda secara hierarkis. Zona hutan bagian terdalam memiliki berbagai pembatasan yang sangat ketat dan makna spiritual paling tinggi dibanding dua wilayah lain. Abah memiliki kedudukan interaksi dan peran terkuat dalam hal pengelolaan hutan, termasuk menakar intensitas kemendesakan dalam mengakses kawasan maupun manfaat/fungsi dari setiap zonasi. Zonasi hutan adat terbagi ke dalam hutan titipan, tutupan, dan garapan.
Hutan titipan (leuweng titipan) mempunyai makna sangat sakral/keramat. Hutan titipan menyimpan apa yang dianggap masyarakat adat sebagai warisan leluhur. Meski tak ditegaskan secara jelas apa yang dimaksud warisan, namun di zona inilah keanekaragam hayati masih terjaga dengan sangat ketat. Segala hal yang ada di hutan titipan dilarang untuk diambil, bahkan untuk masuk saja memerlukan syarat dan izin khusus (ritual). Untuk hutan titipan ini ada istilah cikarancang, yaitu semacam “pagar” atau pelindung yang terlihat, tapi tak bisa ditembus.
Hutan tutupan (leuweng tutupan) adalah hutan yang menjadi sabuk bagi hutan titipan dan perantara di antara hutan titipan dan hutan bukaan (zonasi setelah hutan titipan). Meski tak seketat hutan titipan, namun peraturan terhadap pengambilan kayu atau pemanfaatan hasil hutan tutupan juga perlu memiliki izin khusus dari abah. Pemanfaatan hanya diizinkan untuk kebutuhan hidup yang mendesak dan pengambilan material ritual tertentu. Aktivitas perladangan dilarang dilakukan di area ini.
Hutan bukaan (leuweng sampalan) merupakan zona terluar dari hutan adat di mana terdapat permukiman dan garapan berupa ladang/huma dan sawah. Di zona inilah masyarakat Kasepuhan tinggal dan bercocok tanam. Rumah-rumah panggung bermaterial kayu dan ijuk menghiasi wilayah. Meski berada di lapisan paling luar, bukan berarti tak ada aturan adat yang diterapkan. Siapa pun yang hendak mendirikan rumah harus mengantongi izin terlebih dulu.
Kesadaran terhadap hutan begitu lekat pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Hutan adalah kehidupan. Setidaknya metafor itulah yang mereka yakini untuk menggambarkan betapa hutan menjadi begitu penting bagi mereka. Anak-anak telah diajarkan mengenai bagaimana mereka harus merawat hutan, termasuk pantangan-pantangan dan pembagian zona hutan. Sejak dini, mereka diperkenalkan dengan kegiatan menanam pohon sebagai bentuk penghormatan pada alam dan “tabungan” bagi si anak nanti dewasa atau menikah ia membutuhkan kayu untuk membangun rumah sendiri atau kebutuhan lainnya. Pasangan muda atau keluarga yang hendak membuat rumah kayu itu harus menabung pohon. Saat anak lahir, bahkan sebelum lahir, orangtua sudah mulai menanam pohon kayu di talang atau ladang atau di halaman rumah. Mereka yang menebang pohon tanpa izin pun diberikan sanksi adat untuk menanam kembali 10 pohon. Tanaman sirah cai (pohon atau tanaman penyerap air di dekat sumber mata air) tidak boleh dirusak, apalagi ditebang. Segala sesuatu ada izinnya. Bagaimana mereka melakukan permisi untuk menebang pohon melalui ritual adalah cara komunikasi yang menjadi bentuk penghormatan pada alam maupun segala hal yang hidup.


Jalan menuju ke Kasepuahan Ciptagelar yang menembus lebatnya rimba Gunung Halimun


Salah satu sungai yang ada di Kasepuhan Ciptagelar 










1 komentar: