Kasepuhan
Ciptagelar: Ketika Teknologi Bersinergi dengan Kearifan Lokal
Oleh : Muhammad Irfan
Leuit |
Kasepuhan Ciptagelar dipercaya
pertama kali didirikan pada tahun 1368. Selama 649 tahun berdirinya, kasepuhan
ini sudah mengalami 23 kali perpindahan tempat dan 11 kali pergantian kepala
adat (abah). Perpindahan ini terjadi apabila seorang kepala adat mendapatkan
sebuah “wangsit” untuk melakukan perpindahan. Pada tahun 1968, kasepuhan ini
masih terletak di daerah Sirnaresmi, kemudian pada tahun 1982 berpindah ke
daerah Sirnarasa. Pada tahun 1994, kasepuhan ini berpindah ke daerah Ciptarasa.
Baru pada tahun 2001, kasepuhan Ciptagelar menempati tempatnya yang ada hingga
saat ini. Semenjak kasepuhan masih berada di Sirnaresmi hingga tahun 2007,
Kasepuhan Ciptagelar dipimpin oleh Abah Encup. Ketika Abah Encup meninggal dunia
pada tahun 2007, posisinya digantikan oleh putranya, Abah Ugi.
Masuknya Tekonologi dan Modernisasi
Di masa kepemimpinan Abah Ugi ini,
Kasepuhan Ciptagelar mulai terbuka terhadap teknologi dan dunia luar. Abah Ugi
sendiri sebelumnya pernah berkuliah di Bandung, namun keburu dipanggil untuk
menjabat mejadi kepala adat. Dimulai dari diintroduksikannya sebuah menara
pemancar sinyal telekomunikasi, pembentukan radio dan TV Kasepuhan Ciptagelar
(CIGA TV & Radio), hingga bekerjasama untuk membangun pembangkit listrik
tenaga mikro hidro (PLTMH) sebagai sumber energi yang ramah lingkungan dan
berkelanjutan. Dan yang terbaru, di Kasepuhan Ciptagelar ini sudah tersedia
fasilitas WiFi (walaupun hanya mencakup kompleks utama pemerintahan Kasepuhan,
tepatnya di Kampung Ciptagelar).
Pembangkit listrik tenaga
mikrohidro (PLTMH) sudah dicetuskan oleh Abah Encup pada tahun 1998, ketika
Kasepuhan Ciptagelar masih bertempat di Ciptarasa. Kemudian ketika tahun 2001
kasepuhan berpindah ke Ciptagelar, pencancangan PLTMH sebagai sumber energi listrik
utama semakin digencarkan. Mulai muncul kerjasama antara pemerintah adat desa
dengan berbagai pihak untuk melakukan kerjasama dalam pembangunan PLTMH di
kawasan Kasepuhan Ciptagelar. Abah Ugi Sugriana Rakasiwi sendiri berhasil
memperoleh penghargaan energi prakarsa kategori perorangan pada tahun 2011 atas
jasanya mengembangkan PLTMH di wilayah Kasepuhan Ciptagelar. Hingga saat ini,
terdapat sekitar 5 PLTMH yang bisa menghasilkan daya listrik hingga 150 kwh.
Dengan daya listrik sebesar itu, bahkan sudah lebih dari cukup untuk memenuhi
kebutuhan listrik harian seluruh wilayah Kasepuhan Ciptagelar, bahkan sampai
terjadi overstock listrik.
Pada masa awal kepindahan
kasepuhan dari Ciptarasa ke Ciptagelar, masalah telekomunikasi menjadi salah
satu hal yang menjadi fokus. Atas dasar itu, diintroduksikanlah sebuah menara
pemancar sinyal telekomunikasi di wilayah Kasepuhan Ciptagelar. Pada tahun 2004,
atas inisiatif Abah dengan pertimbangan urgensi kebutuhan masyarakat Kasepuhan
Ciptagelar akan informasi, akhirnya dicetuskan terbentuknya RSC (Radio Swara
Ciptagelar) 107.7 FM, yang kemudian pada tahun 2008 berkembang juga menjadi
CIGA TV. CIGA TV sendiri merupakan akronim dari Ciptagelar TV. CIGA TV
beroperasi selama 24 jam, frekuensinya juga cukup menjangkau jauh, hingga
menjangkau Malingping (Banten) di arah barat dan Sumedang di arah timur. Konon
katanya, peralatan-peralatan radio dan tv ini sebagian besar terdiri dari
barang-barang elektronik bekas yang dirakit dan diperbaiki sendiri.
Kearifan Lokal yang Masih Bertahan
Berbelanja di pameran hasil karya masyarakat Kasepuhan Ciptagelar |
Pemandangan Kasepuhan Ciptagelar dari atas bukit |
Dibalik kemajuannya dalam bidang
tekonologi, Kasepuhan Ciptagelar tetap menjalankan ritual-ritual peninggalan
leluhur dan menjunjung tinggi kerifan lokalnya. Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar
tiap tahunnya masih rutin mengadakan upacara adat Seren Taun setiap selesai panen. Selain itu juga masih banyak
aturan-aturan adat lainnya yang mengatur segala aspek kehidupan warga masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar dan hubungannya dengan alam sekitar, seperti adanya hutan
larangan, aturan mengenai penanaman padi, dan lainnya. Juga terdapat kearifan
lokal khas dari masyarakat Kasepuhan Ciptagelar yang telah diwariskan secara
turun temurun dan masih dijalankan dan menjadi pedoman hidup hingga saat ini.
Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar
sangat bergantung kepada hasil bumi, terutama padi. Oleh karena itu, padi bagi
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar bukanlah sekedar komoditas pangan belaka, namun
merupakan sumber kehidupan. Mereka juga memercayai bahwa padi merupakan wujud
seorang dewi yaitu Nyi Pohaci Sanghyang
Asri. Jika mereka merawat padi dengan baik dari ditabur hingga dipanen,
maka Nyi Pohaci Sanghyang akan
memberi kesuburan atas hasil panen yang melimpah. Begitu pentingnya padi dalam
konsep hidup masyarakat adat Kasepuhan, mereka pantang membuang dan
memperjualbelikan padi. Mereka hanya menanam padi titipan leluhur yang
berjumlah sekitar 160 jenis varietas asli. Secara turun-temurun mereka menanam padi
menggunakan sistem lahan kering atau huma maupun lahan basah atau persawahan. Dalam
menanam padi dan bercocok tanam, terdapat beberapa tahapan yang harus sudah
menjadi pakem bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Untuk menghormati alam,
penanaman padi dilakukan setahun sekali tanpa pupuk, obat kimia dan pestisida. Setelah
panen, lahan akan diistirahatkan. Mereka percaya alam perlu keseimbangan,
dengan diistirahatkan maka akan memulihkan lahan agar kembali subur. Dalam
menentukan waktu menanam, masyarakat Kasepuhan Ciptagelar mengacu pada rasi
bintang tertentu, jika rasi bintang tersebut sudah muncul, maka proses bercocok
tanam dapat dimulai. Proses bercocok tanam padi ini termasuk bagian dari
rangkaian kegiatan adat, diawali dengan proses turun nyambut (menggarap lahan yang akan ditanami), tebar (menyiapkan benih padi), ngaseuk (menanam), sapangjadian, prah-prahan, mapag pare beukah, mabay, mipit (menuai
padi dengan ani-ani), nyimbur, ngunjal, nutu (menumbuk padi), nganyaran (mencicipi hasil panen
pertama), ponggokan (memberikan ruang
batas untuk tidak mengolah lahan) dan ditutup dengan Seren Taun yang diadakan
setiap bulan Hapit, bulan ke sebelas
dalam penanggalan lokal. Berkat kearifan lokal yang sudah dipertahankan selama
ratusan tahun, masyarakat Kasepuhan Ciptagelar tidak pernah mengalami gagal
panen, bahkan berlimpah dan menambah jumlah leuit
tiap tahunnya.
Seren Taun, sebuah Tradisi Berusia 649 Tahun
Seren taun merupakan sebuah ritual yang rutin diadakan setiap masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar. Ritual ini sudah ada sejak Kasepuhan Ciptagelar pertama
kali berdiri pada tahun 1368, dan di tahun 2017 ini telah mencapai ritual yang
ke 649 tahun. Seren sendiri berarti seserahan
atau menyerahkan, taun berarti tahun. Seren
Taun dimaknai warga sebagai upacara penyerahan sedekah (tatali) hasil panen padi selama setahun
sebagai rasa syukur atas panen yang berlimpah serta memohon berkah pada Tuhan
agar hasil panen tahun mendatang lebih meningkat.
Rangkaian acara seren taun biasanya berlangsung selama 5
hari, dan dimulai dengan berbagai macam hiburan rakyat. Menyambut seren taun, tujuh panggung disekitar Imah Gede menyajikan berbagai hiburan
dari yang buhun / lama mulai dari seni
jipeng / tanji dan topeng, ujungan,
pantun buhun, dogdog lojor / alat
musik pukul semacam gendang panjang dan angklung, gondang, seni topeng, hingga
kesenian yang umum kita lihat seperti pencak silat, debus, pertunjukan wayang
golek dan berbagai tarian. Uniknya, tiap panggung dilengkapi sistem pengeras
suara yang hampir sama kuat, seolah berlomba merebut perhatian pengunjung. Di
lapangan besar dekat pintu masuk kasepuhan, tersedia sebuah panggung besar yang
menampilkan musik dangdut selama semalam suntuk. Sepanjang jalan kasepuhan juga
dipenuhi dengan kios-kios dan pasar dadakan yang menjual berbagai macam hal,
dari mulai baju, peralatan rumah tangga, makanan, hingga kebutuhan pokok. Pasar
dadakan ini hanya ada saat acara seren taun saja. Warga dari berbagai penjuru
datang untuk menikmati hiburan yang ada, bukan hanya dari warga Ciptagelar
saja, bahkan warga-warga di desa sekitar dan dari luar kota turut meramaikan
pesta rakyat ini.
Dari rangkaian 5 hari acara
tersebut, terdapat satu hari puncak seren taun. Letusan petasan berantai
menandai awal prosesi puncak Seren Taun. Baris
Kolot / tokoh masyarakat berada di urutan awal pawai mengelilingi Kasepuhan
Ciptagelar melewati deretan leuit menuju ke alun-alun. Barisan yang mengenakan
ikat kepala khas Banten, baju hitam polos, tanpa alas kaki itu diikuti oleh
kelompok debus, kesenian bela diri Banten yang mendemontrasikan kekebalan tubuh
terhadap senjata tajam. Dibelakangnya, para penari diiringi pemain dogdog lojor, rombongan rengkong / pemikul padi yang
mengayun-ayunkan pocong padi pada bambu menimbulkan bunyi-bunyian ritmis,
diikuti barisan pengumpul serpihan padi yang tercecer dalam tabung anyaman.
Puncak acara dari ritual seren taun adalah ngadiuken pare, yaitu memasukkan
sepocong pare indung / induk padi dalam Leuit
Si Jimat, dilakukan secara simbolis oleh Pemimpin Kasepuhan Ciptagelar,
Abah Ugi Sugriana Rakasiwi dan istrinya, Emak Alit, dengan diiringi oleh irama
angklung, kendang, dan tumbukan alu yang saling bersahut-sahutan. Prosesi ini
dimulai dengan pembacaan doa dan mantra melalui pantun seloka yang inti dari
isinya adalah bersyukur atas restu alam semesta dan leluhur yang telah menjaga
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Selepas acara ngadiukeun pare, biasanya akan
diadakan semacam musyawarah bersama antara warga Kasepuhan dengan para petinggi
pemerintahan, baik dari Kabupaten Sukabumi, maupun Kabupaten Lebak. Seringkali
juga hadir perwakilan dari komunitas masyarakat yang ada di seluruh nusantara
Kearifan Lokal dan Konservasi Alam
Wilayah Kasepuhan Ciptagelar
termasuk kedalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), yang
merupakan salah satu kawasan konservasi yang penting di Pulau Jawa bagian
barat. Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar juga turut serta dalam menjaga hutan,
bahkan jauh sebelum wilayah ini ditetapkan menjadi taman nasional. Hutan di
wilayah Kasepuhan Ciptagelar dikelompokkan berdasarkan fungsi dan nilai sakral.
Batasan memang tidak secara tegas disebutkan, namun umumnya masyarakat memahami
karakter zona tertentu. Mereka yang melanggar batasan akan menerima sendiri
akibat dari pelanggaran aturan adat tersebut. Dalam bahasa setempat, hutan
(hutan adat) disebut leuweung kolot.
Masyarakat adat Kasepuhan membagi leuweung
kolot ke dalam tiga wilayah. Zonasi yang diterapkan menunjukkan intensitas
pemanfaatan yang berbeda secara hierarkis. Zona hutan bagian terdalam memiliki
berbagai pembatasan yang sangat ketat dan makna spiritual paling tinggi
dibanding dua wilayah lain. Abah memiliki kedudukan interaksi dan peran terkuat
dalam hal pengelolaan hutan, termasuk menakar intensitas kemendesakan dalam
mengakses kawasan maupun manfaat/fungsi dari setiap zonasi. Zonasi hutan adat
terbagi ke dalam hutan titipan, tutupan, dan garapan.
Hutan titipan (leuweng titipan) mempunyai makna sangat
sakral/keramat. Hutan titipan menyimpan apa yang dianggap masyarakat adat
sebagai warisan leluhur. Meski tak ditegaskan secara jelas apa yang dimaksud
warisan, namun di zona inilah keanekaragam hayati masih terjaga dengan sangat
ketat. Segala hal yang ada di hutan titipan dilarang untuk diambil, bahkan
untuk masuk saja memerlukan syarat dan izin khusus (ritual). Untuk hutan titipan
ini ada istilah cikarancang, yaitu
semacam “pagar” atau pelindung yang terlihat, tapi tak bisa ditembus.
Hutan tutupan (leuweng tutupan) adalah hutan yang menjadi sabuk bagi hutan
titipan dan perantara di antara hutan titipan dan hutan bukaan (zonasi setelah
hutan titipan). Meski tak seketat hutan titipan, namun peraturan terhadap
pengambilan kayu atau pemanfaatan hasil hutan tutupan juga perlu memiliki izin
khusus dari abah. Pemanfaatan hanya diizinkan untuk kebutuhan hidup yang
mendesak dan pengambilan material ritual tertentu. Aktivitas perladangan
dilarang dilakukan di area ini.
Hutan bukaan (leuweng sampalan) merupakan zona terluar dari hutan adat di mana terdapat permukiman dan garapan berupa ladang/huma dan sawah. Di zona inilah masyarakat Kasepuhan tinggal dan bercocok tanam. Rumah-rumah panggung bermaterial kayu dan ijuk menghiasi wilayah. Meski berada di lapisan paling luar, bukan berarti tak ada aturan adat yang diterapkan. Siapa pun yang hendak mendirikan rumah harus mengantongi izin terlebih dulu.
Hutan bukaan (leuweng sampalan) merupakan zona terluar dari hutan adat di mana terdapat permukiman dan garapan berupa ladang/huma dan sawah. Di zona inilah masyarakat Kasepuhan tinggal dan bercocok tanam. Rumah-rumah panggung bermaterial kayu dan ijuk menghiasi wilayah. Meski berada di lapisan paling luar, bukan berarti tak ada aturan adat yang diterapkan. Siapa pun yang hendak mendirikan rumah harus mengantongi izin terlebih dulu.
Kesadaran terhadap hutan begitu
lekat pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Hutan adalah kehidupan. Setidaknya
metafor itulah yang mereka yakini untuk menggambarkan betapa hutan menjadi
begitu penting bagi mereka. Anak-anak telah diajarkan mengenai bagaimana mereka
harus merawat hutan, termasuk pantangan-pantangan dan pembagian zona hutan.
Sejak dini, mereka diperkenalkan dengan kegiatan menanam pohon sebagai bentuk
penghormatan pada alam dan “tabungan” bagi si anak nanti dewasa atau menikah ia
membutuhkan kayu untuk membangun rumah sendiri atau kebutuhan lainnya. Pasangan
muda atau keluarga yang hendak membuat rumah kayu itu harus menabung pohon.
Saat anak lahir, bahkan sebelum lahir, orangtua sudah mulai menanam pohon kayu
di talang atau ladang atau di halaman rumah. Mereka yang menebang pohon tanpa
izin pun diberikan sanksi adat untuk menanam kembali 10 pohon. Tanaman sirah cai (pohon atau tanaman penyerap
air di dekat sumber mata air) tidak boleh dirusak, apalagi ditebang. Segala
sesuatu ada izinnya. Bagaimana mereka melakukan permisi untuk menebang pohon
melalui ritual adalah cara komunikasi yang menjadi bentuk penghormatan pada
alam maupun segala hal yang hidup.
Jalan menuju ke Kasepuahan Ciptagelar yang menembus lebatnya rimba Gunung Halimun |
Salah satu sungai yang ada di Kasepuhan Ciptagelar |